-->
  • Jelajahi

    Copyright © LombokTREND.com
    Best Viral Premium Blogger Templates

    Iklan

    Status Tanah Ali BD di Lahan Sirkuit MXGP Samota

    LombokTrend
    Kamis, Mei 12, 2022, 1:24 PM WIB Last Updated 2022-05-12T05:27:57Z


    Berkembang isu di publik persoalan tanah di lokasi MXGP terkait dengan status tanah yang dipermasalahkan oleh Abdul Azis AB dengan H. Moch. Ali Bin Dachlan, menurut Abdul Azis AB yang saat ini sedang mengajukan gugatan Perdata di Pengadilan Negeri Sumbawa dengan Perkara Register No. 12/Pdt.G/2022/PN.Sbw., dalam gugatannya tertanggal 14 Maret 2022 yang pada pokoknya menyatakan “ALI BD telah merayu dirinya untuk menjual tanahnya sejumlah ±60 Ha pada tahun 2011 dan baru di bayar Rp. 60 juta” adalah penggiringan opini yang tidak berdasarkan hukum dan fakta. Demikian kata Basri Mulyani, SH, MH, melalui rilis kepada Lomboktrend.com, Kamis (12/5/2022).


    "Kami sebagai kuasa hukum H. Moch. Ali Bin Dachlan menyarankan kepada Abdul Azis AB untuk fokus saja kepada upaya hukum dan tidak membangun opini publik yang menyesatkan dengan semakin membikin kegaduhan di tengah-tengah masyarakat. Karena persoalan ini terus-menerus menggelinding dipublik, selaku kuasa hukum kami berkewajiban meluruskan agar publik tercerahkan secara hukum dan tidak terus-menerus disampaikan melalui berita-berita HOAX dan menyesatkan publik. Bahwa Fakta sesungguhnya Abdul Azis AB yang menawarkan kepada klien kami tanahnya untuk dibeli, katanya ia punya tanah tapi tidak punya surat-surat, dari klien kami dia minta uang sejumlah Rp. 2 juta untuk mengurus surat-suratnya 4 bulan kemudian baru jadi sporadik yang diurus itupun bukan hanya nama dia tapi juga ada nama anak mantu dan keponakannya yang jumlahnya hanya ±35 Ha dari ±40 Ha yang dijanjikan pada klien kami bukan ±60 Ha sebagaimana dalil gugatannya maupun yang berkembang di publik," terangnya.


    Dikatakan Basri bahwa Sporadik yang Abdul Azis urus tidak keluar sekaligus tetapi bertahap dari tahun 2011, tahun 2012 dan tahun 2013.


    "Jual beli yang klien kami lakukan awalnya dilakukan dibawah tangan tanggal 8 Agustus 2011 di hadapan saksi-saksi dan saat itu. Abdul Azis langsung menerima uang muka Rp. 83,5 juta, selanjutnya secara berturut-turut dilakukan di hadapan notaris sampai beberapa kali Abdul Azis menerima pembayaran yang jumlahnya melebihi dari yang diperjanjikan, sehingga secara fakta terang dan jelas tidak dibayar Rp. 60 juta dan tidak direbut dengan cara paksa tanah itu, ini jaman kebebasan bukan jaman pemerintahan diktator," ungkapnya.


    Dari Fakta data diatas imbuh Basri, "dapat dilihat M. Sulkarnaen (anak mantu) dan Jon Nasara (keponakan) dari Abdul Azis juga ikut menjual tanahnya kepada klien kami hanya seluas ±35 Ha bukan ±60 Ha, bahkan pembayaran tanah tersebut sudah melebihi dari apa yang diterima oleh Abdul Azis, jadi tidak benar apa yang disampaikan di sejumlah media selama ini kalau tanah Abdul Azis direbut tahun 2021 dan hanya di bayar Rp. 60 juta. Sebagaimana informasi ketika Abdul Azis sudah jual tanah-tanah itu dia (Abd. Azis. Red) dan M. Sulkarnaen ada sewa tanah pada klien kami sampai beberapa tahun dia lakukan. Pada tahun 2021 itu dia tidak mau sewa dan sudah ada orang yang menyewa karena dia tetap bertahan dan yang sewa tanah tersebut mau tanam maka di usir Abdul Azis dari tanah tersebut bukan klien kami yang mengusirnya tetapi orang yang menyewa tanah tersebut Bahwa tanah-tanah yang Abdul Azis klaim miliknya tersebut yang telah dia jual pada klien kami sudah terbit sertifikat hak milik atas nama 2 (orang) sebagai bentuk pengakuan hak atas tanah, yang tidak abdul azis tarik sebagai pihak dalam gugatannya."


    Basri menegaskan Kliennya hanya juru bayar yang tidak menguasai tanah-tanah itu. Sehingga sesungguhnya gugatan Abdul Azis di Pengadilan Negeri Sumbawa adalah gugatan salah subyek yang digugat dan obyek gugatan tidak sesuai dengan yang diperjual belikan sehingga dampaknya salah batas-batas obyek sengketa, dalam hukum yang dinamakan gugatan yang kabur atau obscuur libel dan kurang pihak yang seharusnya menjadi Penggugat dan Tergugat. 


    Selanjutnya ujar dia, formulasi gugatan Abdul Azis juga tidak jelas apakah gugatan wanprestasi (ingkar janji) atas belum lunasnya pembayaran ataukah gugatan perbuatan melawan hukum atas penyerobotan yang didalilkannya. Karena dalam hukum acara perdata tidak benarkan untuk menggabungkan gugatan wanprestasi dengan gugatan perbuatan melawan hukum dalam satu kesatuan, sebab hukum acaranya berbeda.


    "Kami selaku kuasa hukum juga menanggapi pernyataan Ketua HKTI Sumbawa tentang tanah absente yang klien kami dinyatakan tidak berhak untuk memiliki di Samota. Saran kami kalau mau mengutip pendapat soal hukum tentang tanah absente jangan sepotong-potong dampaknya pasti akan mengambil kesimpulan yang sesat dalam cara berfikir hukum (fallacy) dengan logika yang sesat sangat membahayakan publik atas pernyataan-pernyataannya yang tidak sesuai dengan kaedah hukum. Penerapan kaidah tanah absente tidak dapat dipisahkan dengan prinsip tanah terlantar khususnya tanah-tanah pertanian yang ada di desa-desa yang dikuasai oleh orang luar kecamatan. Apakah Kelurahan Brangbiji sudah berubah status menjadi desa Brang Biji dan apakah disekitar Samota tersebut hanya klien kami yang dari luar Sumbawa dan apakah tanah-tanah yang klien kami beli ditelantarkan, seharusnya cara berfikirnya sesuai fakta dan kaidah hukum, tidak kemudian menyesatkan publik dengan pengetahuan hukum yang sebenarnya tidak dipahami antara teori dan prakteknya. Sebagaimana yang telah kami sampaikan obyek sengketa yang merupakan tanah negara telah diberikan pengakuan hak kepada 2 orang dengan terbitnya sertipikat hak milik jadi secara hukum pembatalan sertupikat hanya dapat dilakukan di pengadilan tata usaha bukan kompetensi Pengadilan Negeri Sumbawa," tukasnya.


    Sedangkan Abdul Azis yang mengklaim tanah negara tersebut kata dia oleh negara tidak pernah diberikan hak apalagi membayar pajak-pajak tanah untuk pendapatan negara. Selama ini kliennyalah yang selalu membayarnya sebagai warganegara, disana sprit of law agar tanah tidak terlantar dan abente untuk dapat didayagunakan dan hasil gunakan untuk kesejahteraan masyarakat dan peemerintah mendapatkan pendapatan.


    "Mengutip ADAGIUM HUKUM: Cum adsunt testimonia rerum, quid opus est verbist -saat ada bukti dari fakta-fakta, apa gunanya kata-kata?, jadi fakta-fakta yang akan membuktikan apakah benar atau tidak dalil-dalil gugatan Abdul Azis dipersidangan dari kata-kata yang diucapkan selama ini dan yang disampaikan kepada public yang tidak benar. Klien kami dalam persidangan ini mengajukan gugatan balik (rekonpensi) atas gugatan yang Abdul Azis lakukan yang tidak sesuai fakta. Karena dalam Putusan Nomor 24/Pdt.G/2018/PN.Sbw, pada halaman 24 dibawah sumpah sebagai saksi Abdul Azis menyampaikan bahwa tanah-tanahnya yang jumlahnya 65 Ha sudah dia jual semuanya pada klien kami dan dia abdul azis sudah tidak punya tanah lagi di Samota," tandas Basri.


    Atas keterangan tersebut tambahnya, tentu berdampak pada gugatannya hari ini yang berarti keterangan sebelumnya adalah kesaksian palsu yang dalam ketentuan pasal 242 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”), barang siapa dalam keadaan di mana undang-undang menentukan supaya memberi keterangan di atas sumpah atau mengadakan akibat hukum kepada keterangan yang demikian, dengan sengaja memberi keterangan palsu di atas sumpah, baik dengan lisan atau tulisan, secara pribadi maupun oleh kuasanya yang khusus ditunjuk untuk itu, diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun. 


    "Sehingga sangat wajar secara hukum klien kami telah dirugikan secara imateriil atas martabatnya yang telah diserang tersebut. Dan kepada publik baik LSM dan organisasi lainnya secara person maupun Lembaga kami mengingatkan agar tidak mengkomentari sesuatu yang tidak diketahui fakta sebenarnya dan kami akan menempuh upaya hukum atas saluran hukum yang disediakan untuk perbuatan-perbuatan yang tidak menyenangkan dan memprovokasi masyarakat dalam ruang digital," pungkas dia.(red)

    Komentar

    Tampilkan

    Terkini

    Kuliner

    +